SPB
2.4
|
Bahan Bacaan
Pengembangan Ekonomi
Kawasan Perdesaan
|
Pendahuluan
Masyarakat
desa masih jauh dari kata sejahtera, menurut Indeks Desa Membangun (IDM)
sebanyak 18,87% desa termasuk dalam kategori desa sangat tertinggal, sebanyak
45,41% desa berstatus desa tertinggal, sebanyak 30,66% desa termasuk dalam
kategori desa berkembang, sebanyak 4,83% desa berstatus desa maju, dan
persentase terendah desa mandiri sebanyak 0,23% dari total jumlah desa.
Permasalahan umum di desa saat ini adalah kemiskinan dan ketimpangan. Menurut
data BPS September 2015 sebanyak 62,75%
penduduk miskin Indonesia berada di desa. Selanjutnya rasio gini di desa
pada 2014 sebesar 0,32 lebih rendah dibandingkan rasio gini kota yang mencapai
0,43.
Ketimpangan
kepemilikan asset ditunjukan oleh data penguasaan lahan pertanian. Berdasarkan
data sebesar 88% desa di Indonesia menggantungkan hidup penduduknya pada sektor
pertanian. Terdapat 16.170 desa yang melakukan peralihan lahan dari lahan
pertanian sawah menjadi lahan pertanian non sawah dan lahan non pertanian.
Dimana 41,1% desa melakukan peralihan lahan sawah pertanian menjadi lahan
pertanian non sawah. Sedangkan lahan yang beralih fungsi menjadi lahan non
pertanian sebanyak 58,9% dari total desa yang melakukan peralihan fungsi lahan
sawah pertanian (BPS, Podes 2014).
Fakta
lain menunjukkan sumberdaya yang ada di Desa malah dikuasai oleh bukan penduduk
desa, sehingga Desa tidak dapat menikmati hasil sumberdaya yang mereka miliki.
Hal inilah yang memicu semakin tingginya ketimpangan pendapatan yang akut.
Selain itu, masalah yang terjadi di Desa adalah Desa sebagai produsen barang
primer dan konsumen barang tersier. Dapat diartikan bahwa Desa hanya sebagai
pemasok kebutuhan barang olahan, hasil barang olahan tersebut akan dijual
kembali ke Desa. Pada akhirnya, sumber daya Desa terus tersedot untuk memenuhi
kebutuhan bahan mentah di kota dan penjualan komoditas Desa tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pokok Kebijakan
Tri Matra Pembangunan Desa adalah
pokok kebijakan yang dilakukan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi untuk menindaklanjuti fakta di atas. Program pertama
(Matra I) adalah Jaring Komunitas Wiradesa. Masalah yang
dihadapi saat ini adalah perampasan daya manusia warga Desa itu yang
ternyatakan pada situasi ketidakberdayaan, kemiskinan dan bahkan marjinalisasi.
Program kedua (Matra II) adalah Lumbung Ekonomi Desa.
Masalah utama yang ada di desa adalah penguasaan sumberdaya yang ada di desa.
Terakhir, Program ketiga (Matra III) adalah Lingkar Budaya Desa. Pembangunan
Desa haruslah dilakukan karena kolektivisme, yang di dalamnya terdapat
kebersamaan, persaudaraan, solidaritas, dan kesadaran untuk melakukan perubahan
secara bersama.
Salah
satu Implementasi Tri Matra Pembangunan Desa kepada Desa adalah mendorong desa
untuk mendirikan BUM Desa sebagai penopang perekonomian di Desa. BUM Desa dapat
menjadi representasi Desa dalam mengelola sumber daya yang dimiliki Desa. Di
samping itu, permasalahan keterbatasan desa untuk mengakses pasar dapat diatasi
oleh BUM Desa. Dengan menerapkan strategy linkage antar BUM Desa
(BUM Desa bersama dan BUMADes) penghasil bahan baku perantara dengan industri
yang bergerak di sektor hilir. Dalam skema ini, BUM Desa berfungsi sebagai
penyedia input bagi industri pengolahan akhir.
BUM Desa
Geliat
pengembangan ekonomi perdesaan dapat dipicu melalui lembaga ekonomi yang
dimiliki oleh desa, yaitu BUM Desa. BUM Desa secara jelas diatur pada
Permendesa No.4 Tahun 2015. Pendirian BUM Desa bertujuan :
1.
Meningkatkan perekonomian Desa;
2.
Mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan Desa;
3.
Meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi
Desa;
4.
Mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan
pihak ketiga;
5.
Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan
layanan umum warga;
6.
Membuka lapangan kerja;
7.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan
umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Desa; dan
8.
Meningkatkan pendapatan masyarakat Desa dan Pendapatan Asli Desa.
Pendirian
BUM Desa hanya dapat dilakukan melalui Musyawarah Desa. Pokok bahsan yang
dibicarakan dalam Musyawarah Desa
meliputi: (a) Pendirian BUM Desa sesuai dengan kondisi ekonomi dan
sosial budaya masyarakat; (b) Organisasi pengelola BUM Des; (c) Modal usaha BUM
Desa; dan (d) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BUM Desa
Hasil
kesepakatan Musyawarah Desa menjadi pedoman bagi pemerintah desa dan Badan
Permusyawaratan Desa untuk menetapkan Peraturan Desa tentang Pendirian BUM
Desa. BUM Desa dapat terdiri dari unit-unit usaha yang berbadan hukum yang
berupa lembaga bisnis yang kepemilikan sahamnya berasal dari BUM Desa dan
masyarakat. BUM Desa juga dapat membentuk unit usaha meliputi :
a.
Perseroan Terbatas sebagai persekutuan modal, dibentuk berdasarkan
perjanjian, dan melakukan kegiatan usaha dengan modal yang sebagian besar
dimiliki oleh BUM Desa, sesuai dengan peraturan perundangundangan tentang
Perseroan Terbatas; dan
b.
Lembaga Keuangan Mikro dengan andil BUM Desa sebesar 60 (enam
puluh) persen, sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang lembaga
keuangan mikro.
Sumberdaya
yang ada di desa harus dikelola dengan ekonomis dan berkelanjutan. Selain itu,
diversifikasi jenis usaha BUM Desa dapat dilakukan untuk memperluas segmen
pasar. Pengembangan potensi usaha ekonomi desa dapat dilakukan melalui BUM
Desa, antara lain :
a.
Bisnis Sosial (Social Business) Sederhana
Memberikan
pelayanan umum (serving) kepada
masyarakat dan memeperoleh keuntungan finansial. Contoh : air minum desa,
lumbung pangan, dan usaha listrik Desa
b.
Bisnis Penyewaan Barang
Melayani
kebutuhan masyarakat desa dan ditujukan untuk memperoleh Pendapatan Asli
Daerah. Contoh : alat transportasi, gedung pertemuan, dan rumah toko
c.
Usaha Perantara
Memberikan
jasa pelayanan kepada warga. Contoh : Jasa pembayaran listrik, pasar desa untuk
memasarkan produk masyarakat dan jasa pelayanan lainnya
d.
Bisnis yang berproduksi
dan/atau berdagang
Menyediakan
barang-barang tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dipasarkan
pada skala pasar yang lebih luas. Contoh : pabrik es, hasil pertanian, sarana
produksi pertanian dan kegiatan produktif lainnya
e.
Bisnis Keuangan
Memenuhi
kebutuhan usaha-usaha skala mikro yang dijalankan oleh pelaku usaha ekonomi
desa. Contoh : memberikan akses kredit dan peminjaman masyarakat desa
f.
Usaha Bersama
Sebagai
induk dari unit-unit usaha yang dikembangkan masyarakat Desa baik dalam skala
lokal Desa maupun kawasan perdesaan. Contoh : dapat berdiri sendiri serta
diatur dan dikelola secara sinergis oleh BUM Desa agar tumbuh menjadi usaha
bersama dan dapat pula menjalankan kegiatan usaha bersama seperti desa wisata
yang mengorganisir rangkaian jenis usaha dari kelompok masyarakat
Namun,
segala upaya ini harus didasari oleh aksi kolektif pemerintah desa dan
masyarakat. Sehingga BUM Desa memiliki nilai transformasi sosial, ekonomi dan
budaya. Hal inilah yang menjadikan BUM Desa sebagai salah satu lembaga ekonomi
rakyat yang berperan sebagai pilar demokrasi ekonomi.
BUM
Desa bersama
Dalam
rangka kerja sama antar-Desa dan pelayanan usaha antar-Desa dapat dibentuk BUM
Desa bersama yang merupakan milik 2 (dua) Desa atau lebih. Pendirian BUM Desa
bersama disepakati melalui Musyawarah antar Desa yang difasilitasi oleh badan
kerjasama antar Desa yang terdiri dari : (a) Pemerintah Desa; (b) Anggota Badan
Permusyawaratan Desa; (c) Lembaga Kemasyarakatan Desa; (d) Lembaga Desa
lainnya; dan (e) Tokoh masyarakat dengan mempertimbangkan keadilan gender. BUM
Desa bersama ditetapkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa tentang Pendirian
BUM Desa bersama.
BUM Desa Antar-Desa
BUM
Desa dapat melakukan kerjasama antar 2 (dua) BUM Desa atau lebih. Kerjasama
antar 2 ( dua) BUM Desa atau lebih dapat dilakukan dalam satu kecamatan atau
antar kecamatan dalam satu kabupaten/kota. Kerjasama antar dua BUM Desa atau
lebih harus mendapat persetujuan masing-masing Pemerintah Desa. Kerjasama antar
dua BUM Desa atau lebih dibuat dalam naskah perjanjian kerjasama. Naskah
perjanjian kerjasama antar dua BUM Desa atau lebih paling sedikit memuat :
a.
Subyek
kerjasama;
b.
Obyek
kerjasama;
c.
Jangka
waktu;
d.
Hak
dan kewajiban;
e.
Pendanaan;
f.
Keadaan
memaksa;
g.
Pengalihan
aset; dan
h.
Penyelisaian
perselisihan
Naskah
perjanjian kerjasama antar dua BUM Desa atau lebih ditetapkan oleh Pelaksana
Operasional dari asing-masing BUM Desa yang bekerjasama. Kegiatan kerjasama
antar dua BUM Desa atau lebih dipertanggungjawabkan kepada Desa masing-masing
sebagai pemilik BUM Desa. Dalam hal kegiatan kerjasama antar unit usaha BUM
Desa yang berbadan hukum diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
tentang Perseroan Terbatas dan Lembaga Keuangan Mikro.
Strategi Pengembangan BUM Desa
Secara
umum strategi pembangunan BUMDesa dapat
dilakukan melalui tiga skema berikut. Pertama, strategi replika. Skema ini
memiliki arti bahwa strategi pembangunan yang pernah berhasil (succes
story) diimplementasikan BUM Desa akan digunakan sebagai konsep
pemberdayaan BUM Desa lainnya. Strategi ini menempatkan partisipasi oleh
masyarakat desa sebagai aktor yang paling penting. Dikarenakan kesadaran dan
rasa memiliki (sense of belonging)
BUM Desa dari masyarakat itu sendirilah yang dapat membantu tumbuh kembangnya
BUM Desa tersebut.
Kedua, linkage strategy. Maksudnya, pembangunan
dilakukan satu lini dengan pembangunan desa tetangga, sama halnya dengan
strategi replikasi, desa bukan bagian keseluruhan dari wilayah pemerintah
daerah. Oleh karena itu, penghubung strategi itu bukan hanya lintas pemerintah
desa tetapi juga masih dalam lingkup satu pemerintahan daerah. Secara umum, linkage strategy di desa-desa tetangga
lebih mudah dilakukan, karena kemauan politik yang lebih mudah untuk
diakomodasi. Misalnya, jika pembangunan di desa menempatkan intensifikasi
penangkapan ikan tertentu, maka daerah lain di wilayah pemerintah daerah yang
sama harus disiapkan pasar yang memadai. Dengan begitu, setiap penawaran barang
yang muncul akan langsung diterima oleh pasar.
Ketiga,
strategi otonomi. Dalam beberapa hal, Pemerintahan
desa memiliki sumber daya yang memadai untuk dimaksimalkan. Namun, dalam
implementasinya sumber daya yang ada tersebut belum digali secara maksimal,
sehingga berbagai potensi yang seharusnya bisa hadir belum menyeruak. Ini bisa
terjadi karena selain regulasi yang ada memberikan kewenangan bagi pemerintahan
desa untuk memaksimalkan potensi yang ada, juga disebabkan semangat
desentralisasi memberikan pondasi bagi pemerintahan desa untuk berlomba menjadi
lebih baik dari wilayah lain. Makna lain dari strategi ini adalah pembangunan
hanya cocok dilakukan apabila suatu desa memiliki infrastruktur ekonomi, sosial
dan politik yang memadai sehingga secara mandiri dapat melakukan proses
pembangunan tanpa harus melakukan replikasi maupun keterkaitan dengan desa lain[.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar